When you want to, you can … and you will.

Tadi malam, saya mengenang puluhan pertanyaan yang dilayangkan kepada saya – semuanya bernada sama – mengenai modal yang harus disiapkan ketika seseorang memutuskan untuk berprofesi menjadi seorang penerjemah. Waktu itu saya mengatakan bahwa pendekatan yang saya lakukan ada tiga: laptop/PC, modem, dan Bahtera. Tapi ketika membaca blog mbak Dina, saya sadar bahwa “pendekatan” untuk menjadi seorang penerjemah mungkin ada puluhan, dan apa yang saya katakan dulu tentang pendekatan saya [mungkin] tidak sepenuhnya jujur.

Kenapa saya bilang tidak jujur, karena keadaan saya dulu jauh sekali berada di bawah mbak Dina, ketika saya memulai [kembali] profesi ini.  Ketika saya memutuskan untuk kembali bekerja [tahun 2009], saya tidak punya modal samasekali. Suami saya masih bekerja di luar kota, kami mengontrak rumah terpisah dari orangtua, dan satu-satunya PC yang kami miliki waktu itu harus dibagi penggunaannya dengan dua orang [saya dan suami]. Melalui jalan yang agak “ngider“, saya memperoleh pekerjaan dari seorang teman lama sebagai pembuat skenario game SMS. Waktu itu saya memperoleh bayaran yang cukup besar untuk ukuran saya yang nggak punya apa-apa, dan sebagian bayaran itu akhirnya saya keluarkan untuk membeli netbook Acer. Sebelumnya suami saya telah “nekad” membeli modem mobile [dulu harganya masih di atas 1 juta], dan selama kami hidup miskin, kami meluangkan apa pun dan semuanya untuk membayar biaya langganan modem byar pet itu setiap bulannya.

Saya gak pernah berpikir bahwa komputer mini itu bisa mengembalikan uang yang saya keluarkan untuk membelinya. Boro-boro. Saya bahkan tidak tahu apa saya bisa memperoleh pekerjaan [lain] menggunakan netbook Acer itu. Saya hanya berpikir sederhana bahwa saya tidak perlu lagi berbagi komputer dengan suami, jadi suami bisa mencari pekerjaan di Bahtera, sembari saya juga bisa mengerjakan sesuatu – entah apa itu, menulis kek, dagang kek [menjadi penerjemah profesional masih jauh banget dari pikiran waktu itu, padahal saya sudah menjadi anggota Bahtera selama dua tahun penuh namun saya terlalu takut untuk melamar sebagai subkon setiap kali ada lowongan, karena merasa hasil terjemahan saya tidak cukup baik untuk komunitas sekelas Bahtera].

Akhirnya [setelah mengumpulkan nyali untuk melamar sebagai subkon – semata-mata karena kepepet biaya hidup] dari Bahtera saya memperoleh segelintir pekerjaan, berkenalan dengan satu orang yang kemudian memberi pekerjaan. Dari kebiasaan saya nongkrong di Yahoo Messenger, seorang sahabat membantu saya untuk membuat suatu sampel terjemahan cukup cantik yang akhirnya dilayangkan ke Mizan. Mizan menerima saya – dan jadilah saya seorang penerjemah novel. Melalui Bahtera juga, saya diterima di salah satu agen internasional yang membuka kantor di Indonesia, kebetulan waktu itu mereka membuka lowongan. Dari seorang Project Manager yang sangat baik di sana, saya kembali menimba ilmu, dengan bayaran yang masih kecil.

Saya tidak punya CAT tool apa pun waktu itu –  hanya punya Wordfast Classic gratis ditambah dengan CAT tool lain yang diberi dari agen. Setiap kali saya menggunakan Wordfast, saya harus memperbarui TM-nya [dulu saya gak tau TM itu apa dan fungsinya apa, sampai sahabat saya si editor Mizan mengarahkan saya ke blog milik mas Wiwit Tabah Santoso], maklum pakai gratisan, TU terbatas, ha ha ha. Saya belajar menggunakan Trados 2007 dari CD bajakan yang saya beli melalui menabung. Boro-boro cek TM, confirm segment aja gak bisa. Saya mencoba puluhan cara dan membaca bagian “Help” puluhan kali sampai akhirnya Trados 2007 takluk di tangan saya. Tidak ada trainer, tidak ada forum, tidak ada yang membantu – saya hanya mencari sekadarnya dari Internet dan setiap kali saya melakukan sesuatu, selalu keluar komat-kamit doa agar si perangkat lunak tidak crash dan pekerjaan saya tidak hilang – dan jika crash, saya hanya bisa mengatupkan rahang dan mengulang terjemahan.

Saya baru berani memutuskan bahwa saya ingin menjadi penerjemah profesional yang serius setelah “dikilik-kilik” pekerjaan oleh dua klien saya ini – samasekali bukan karena saya mendengar bahwa pekerjaan ini bisa membeli rumah dan mobil – apalagi berpikir tentang kenyamanan kerja di rumah dengan penghasilan tinggi. Sebenarnya dengan modal yang saya miliki waktu itu, saya hanya bisa bekerja sebagai penerjemah. Suami saya berkata tempo hari, “Sayang kan, kamu udah punya dua klien [Mizan dan si agen], kenapa kamu gak go pro aja?” [Waktu itu saya telah memberanikan diri untuk mendaftar untuk menjadi anggota HPI – saya baru berani setelah menyelesaikan satu novel LOL]. Akhirnya saya turuti saran suami saya dan meniatkan untuk go pro – namun saya tidak pernah berani membayangkan untuk mengganti si netbook dengan laptop canggih, memiliki koneksi internet streaming, CAT tools asli, atau bahkan membayangkan diri saya berada di posisi sebagai penerjemah Google. Saya dan suami masih menggaruk tanah untuk menanam biji yang entah tumbuhnya kapan! Waktu itu saya tidak merasa bahwa saya sudah pantas disebut sebagai penerjemah profesional. Satu-satunya jalan yang saya lihat adalah tetap berusaha sebaik mungkin dengan modal yang ada, dan terus belajar dengan segala keterbatasan – termasuk dengan menggunakan si WF gratis, si Trados bajakan, dan si netbook layar mini itu.

Ketika saya tersapu oleh proyek situs web hotel yang maha besar dan kemudian dihajar oleh proyek besar lain pada tahun 2011, saya masih menggunakan netbook. Masih membungkuk di atas meja belajar anak saya yang berposisi sangat rendah, sehingga punggung bisa menjadi panas dalam waktu 2 jam saja. Bagaimana bisa seseorang mengedit dua puluh ribu kata sehari melalui layar netbook? Well, saya bisa. Pemikiran saya waktu itu hanyalah untuk mengembalikan modal yang telah saya pakai untuk membeli netbook. Saya baru bisa membeli Trados 2009 asli pada pertengahan tahun 2011 [dan ini juga setelah saya akhirnya mengganti netbook dengan laptop Lenovo saya yang pertama – semata-mata karena saya sadar bahwa netbook saya tidak mungkin mengoperasikan Trados 2009 – sebenarnya dia tidak mungkin lagi mengoperasikan apa pun karena sudah terlalu lelah],  saya baru bisa menyicip yang namanya Windows 7 asli pada tahun itu juga. Semuanya berkat nasihat seorang Bunda Senior baik hati yang berkata “Maria, ketika kamu sudah sukses nanti, saya sarankan kamu membeli perangkat lunak asli. Mulailah dengan yang halal, supaya rezeki kamu halal juga.” Dan niat saya pun hanya sampai sejauh itu … bekerja dengan perangkat lunak halal, supaya rezekinya halal. Waktu itu tidak ada keinginan aneh-aneh untuk menjadi trainer Trados atau pun menjadi CAT tools master – dan sampai sekarang pun, kalau saya menerangkan solusi pemecahan masalah dalam Trados, saya sering merasa keder sendiri karena pembelajaran saya benar-benar melalui trial and error, bukan dari teori.

Sekarang saya sering ketawa sendiri jika menemukan seorang penerjemah baru yang headlong, nekad mengeluarkan 6-8 juta untuk membeli CAT tools tanpa memiliki prospek klien atau calon klien – karena saya sendiri dulu berupaya mati-matian dari gratisan dan bajakan [dan sampai sekarang, kalau ada keperluan untuk menjajaki CAT tool baru, saya selalu berupaya agar memperoleh versi gratisnya dulu – saya baru akan membeli kalau saya sudah merasa benar-benar yakin bahwa modalnya akan kembali dalam waktu kurang dari 3 bulan]. Saya juga selalu ingin tertawa ketika melihat seorang calon penerjemah yang nekad membeli laptop indah nan canggih padahal klien mereka masih sedikit atau bahkan belum ada – tertawa miris … karena keadaan mereka dan saya waktu dulu demikian njomplang …  modal saya cuma netbook dan koneksi modem mobile yang byar pet. Ditambah dengan mimpi.

But my dreams were my fuel, and I knew back then that somehow I could make it. I wanted to make it. And so I did.

Bandung, 6 Maret 2014

*Pekerjaan kembali padat … mari menyintas*

17 Comments

  1. Terharu dengan perjuangan Mbak. Aku juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti ini, tapi justru itu menjadi titik anjak dari sesuatu yang lebih besar. Seorang motivator kondang pernah berkata, “Tuhan memberi kita kesulitan, agar kita memiliki kemampuan baru.” 🙂 Terima kasih sudah berbagi cerita ya, Mbak 🙂

    1. Sama-sama Mbak. Aku sebenernya gak kepengen lupa juga sama masa manis-manis pahit itu, ha ha ha. Supaya terus bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang. Makasih karena sudah mampir ya 🙂

  2. aih.. canggih sekali dirimuh yahh.. 🙂
    edun pisan lah.. saluttttt
    ayeuna mah udah mahir ya, bisa bari pereum pake toolsnya..

  3. Ga nyangka perjuangannya berat jg dan sll ada jalan bagi orang2 yg berusaha keras tanpa putus asa.ajarin jg dong Mi gimana memulai kerjaan sbg penerjemah profesional.sharing ilmunya😃

    1. Wakakak, ya inilah ilmu pertama yang kudapat … sebelumnya kan aku udah magang sama ortu, trus ketika cukup pede baru ngelamar ke biro lokal. Buatku penerjemahan gak bisa dipelajari, cuma bisa dilakukan, mulai dari belajar menerjemahkan yang kecil-kecil dan gratisan dulu, setelah dirasa bagus baru cari pekerjaan berbayar 😀

  4. Terima kasih sekali utk artikelnya yang sgt membantu pemula lebih terarah untuk memulai profesi ini.

Leave a reply to RESTIANY Cancel reply