… dan Akhirnya Saya Menghapus Facebook

Saya sudah ada di Facebook dari tahun 2008. Saya ingat benar alasan ketika membuat akun itu dan sampai sekarang pun masih ingat. Saya ingat ketika saya melalui beberapa fase tata letak, unfriend dan re-friend satu dua orang silih berganti, dan blokir serta berhenti memblokir beberapa orang.

Keputusan (besar) saya untuk berhenti fesbukan bukan didorong oleh alasan ‘konten politik’, walaupun saya harus mengakui bahwa pembahasan tentang politik di Facebook membuat saya jengah setengah mati. Tidak, sepertinya saya masih bisa tahan membaca semua ‘runtah’ (sampah) itu, andaikan hidup bisa saya kotak-kotakkan supaya Facebook dan media sosial lainnya bisa masuk nyempil manis ke dalam eksistensi saya. Di Facebook saya sudah memiliki audiens, saya tidak perlu struggling (lagi) untuk dikenal karena 1.100+ teman saya tahu siapa saya, apa profesi saya, bakat saya, dan sebagainya. Facebook adalah hal pertama yang saya baca ketika bangun tidur dan hal terakhir yang saya tutup sebelum mematikan hape. Facebook adalah bagian dari hidup saya, dulu.

Sampai akhirnya saya ‘disakiti’ olehnya.

Hidup saya telah disetir oleh Facebook. Saya tersinggung ketika melihat orang yang tidak tahu apa-apa berani menyindir saya dan membicarakan saya diam-diam, just because they feel they know me through Facebook. Saya bisa diomeli, dimarahi, dan dicerca hanya karena hal-hal yang saya poskan di sana. Kenalan Facebook mendadak sok akrab seolah mereka sudah pernah mendampingi saya selama puluhan tahun. Dan orang-orang yang tadinya baik akhirnya mengungkapkan jati diri yang sebenarnya, the dirty rotten minds that they arejust because ada kolom ‘What’s on your mind?‘. Saya mulai merasa bahwa saya mengurusi bagian hidup yang sungguh tak penting dan menguras emosi. Sebenarnya saya sudah sering merasa seperti ini. Kebocoran data dari Facebook pun sebenarnya membuat saya bergeming – saya tidak menganggap diri ini sedemikian penting, dan maka oleh itu data saya pun tidak penting. Tapi perasaan bahwa saya bisa memanfaatkan setiap 15 menit yang saya habiskan di medsos untuk melakukan hal lain yang lebih bermakna … pemikiran itu yang menyiksa saya.

Akhirnya saya pun menghapus profil Facebook saya. Dimulai dari yang besar (saya punya dua akun) dan akhirnya yang kecil. Saya masih punya Facebook tapi saya hanya menggunakannya untuk mengakses grup komunitas, tidak lebih. Menghapus dua akun itu membutuhkan tenaga yang luar biasa – hampir sama dengan gejala putus obat, IMO. Saya berjuang untuk mengatasi ketakutan bahwa saya tidak bisa mengontak orang-orang …euh, tepatnya, mereka tidak akan bisa mengontak saya lagi dengan mudah. Saya akan terhapus dari muka bumi. Saya akan berhenti eksis, dan saya akan sendirian.

… dan ternyata, semua ketakutan itu tidak pernah terjadi.

Yeah sure, I am missing out on things. Saya tidak lagi tahu tentang gosip terbaru di antara sesama seniman kawat, saya tidak bisa seketika tahu siapa yang ulang tahun, sakit, atau bahkan meninggal dunia. Tapi orang-orang mulai menghubungi WhatsApp saya. Mereka mulai bertanya tentang hal yang riil, not just because I was there to answer. Kontak dengan supplier bahan perkawatan tetap terjaga, dan saya tidak melukai profesi saya dengan berhenti fesbukan. Sekarang telah genap satu bulan setengah sejak saya berhenti menggunakan medsos itu, dan saya merasa bahagia.

Hidup saya tidak ada kurang-kurangnya. Anak-anak sehat dan terus tumbuh, suami saya makin penyayang setelah kami menempuh 20 tahun bersama-sama, dan saya bisa fokus pada hal yang penting: Pekerjaan, olahraga, hidup keseharian, dan teman-teman yang benar-benar mencintai saya apa adanya, dan bukan sekadar follower yang ada di sana untuk menawarkan barang/menjual profesinya. Saya merasakan hidup yang jauh lebih bermakna dalam beberapa bulan terakhir ini, ketika akhirnya saya berhenti jaim dan bisa berkata jujur tentang apa yang saya rasakan, di sini, di media lain, tanpa ada kewajiban untuk menjaga ‘hubungan’ yang sebenarnya tidak pernah ada tanpa Facebook. Saya tidak perlu mengkritik pendapat/sharing orang lain lagi, dan oleh karena itu orang lain tidak perlu mengkritik saya. Alasan pembenaran bahwa Facebook adalah tempat menjual barang/jasa pun sudah saya kesampingkan, karena saya benar-benar sudah bosan memberi alasan kepada diri sendiri untuk mempertahankan hal yang tidak bermakna, just because.

Tapi terkadang saya suka merenung sambil setengah geli. Saya yakin bahwa ada beberapa orang baper yang menganggap bahwa saya telah memblokir mereka, for only them and God knows why. Lucu, karena saya pun tidak pernah tahu siapa mereka, tapi tampaknya mereka merasa mereka tahu siapa saya.

Jadi di sinilah saya sekarang, sendirian. Saya bukan siapa-siapa tapi saya tidak mau menjadi somebody yang terkenal sebagai artis Facebook.

I am happier now.

~ Bandung, dini hari 3 Juni 2018

2 Comments

  1. Sudah lama punya cita-cita menghapus total akun facebook. Cuma lantaran ada hal teknis, jadinya sulit menghapus Facebook. Akhirnya cuma bisa meng’unfollow’ status-satus yang terlalu ramai. Belajar dari Facebook ini, akhirnya grup Whatsapp juga cuma ada 2, lalu tidak main instagram. twitter cuma jadi pajangan. Alhamdulillah tahun 2018 ini, belum ada bikin satu pun status di facebook. Paling banter cuma komentar di dalam grup saja.
    Akhirnya, menulis di bloglah yang kadang bikin lebih lega. 😀

    1. Aku hapus karena aku juga udah gak tahan diinbox kang, hahaha. Mau unfollow semua juga udah gak sanggup. Alhamdulillah memang beberapa bulan terakhir ini lebih produktif dari segi mental dan fisik. Kenapa atuh gak dihapus aja fb-nya? Deactivate dulu trus request for deletion aja. Suamiku juga udah hapus, hihihi

Leave a comment