Reuni

Sebelum menulis blog ini, saya terpaksa “balik badan” dulu ke bagian pos untuk melihat apakah saya pernah menulis yang seperti ini sebelumnya. Ternyata belum, padahal gonjang ganjing reuni ini terjadi bulan November tahun lalu. Saya mendaftar ke reuni SMA hanya karena gregetan. Suami sedang sibuk reuni sana sini dan saya merasa ketinggalan kereta – masa orang lain heboh dan saya tidak? Benar-benar FOMO (Fear Of Missing Out). Dan saya berpikir bahwa saya sudah merasa cukup “aman” untuk menghadiri reuni, jadi tidak ada salahnya saya pergi.

Saya sering dengar dari kiri kanan bagaimana reuni itu menjadi ajang pamer. Konon semua orang berusaha memamerkan tentang “how far they went” – apa sudah menikah atau belum, berapa anak yang dipunya, berapa besar derajat kesuksesan mereka (for the life of me, saya tidak paham kenapa yang beginian harus dipamerin). Konon situasi reuni sedemikian parah hingga ada beberapa teman yang ogah menghadiri reuni hanya gara-gara merasa dirinya belum cukup jauh melangkah. Tapi ternyata, reuni SMA saya ini lumayan seru, tapi itu juga mungkin karena saya berniat untuk bersenang-senang (dan akhirnya berhasil bertemu kembali dengan beberapa teman yang putus kontak setelah saya berhenti fesbukan, dan satu sahabat lama yang putus kontak setelah mulai kuliah). Sesungguhnya teman-teman sekelas saya di masa SMA masuk ke dalam golongan teman-teman yang ingin saya lupakan karena pengalaman saya semasa SMA cukup buruk. Tapi saya sudah berjalan sangat jauh untuk mengubah sikap dan menjadi seperti sekarang, jadi saya tidak merasa memiliki masalah lagi untuk berinteraksi dengan mereka. Tapi setelah reuni berlalu, saya sadar bahwa ternyata tidak ada yang berubah, ketika saya berinteraksi dengan mereka di grup WhatsApp setelah reuni berakhir.

I had fake friends, and they remained fake. Ada yang berusaha untuk jadi humble padahal dirinya sudah jadi dokter spesialis (akhirnya dia jadi humblebragging), ada yang berusaha keras memperlihatkan bahwa hidupnya bahagia (padahal entah seperti apa kenyataannya – dan memangnya penting??), ada yang tetap shallow dan hanya memperhatikan inner circle dia semasa SMA, tanpa sadar bahwa hey … isi kelas kami waktu itu ada 40-an orang, inner circle dia cuma ada 10, apa kabar sisanya? Berkomunikasi dengan orang yang pikirannya “jalan di tempat” membuat saya merasa hopeless. Saya jadi gelagapan ketika salah satu dari mereka (basa basi) bertanya, apa pekerjaan saya. Saya bingung! Menerangkan bahwa “saya penerjemah alat medis” terasa tidak memungkinkan. Untung mereka tidak pernah tanya soal pendapatan – saya akan makin gelagapan, hahahahaha. 

Saya datang ke reuni sebagai manusia baru yang menanti to make new friends out of the old friends. Tapi sulit untuk melakukan itu ketika mereka justru ingin membangkitkan kenangan selektif – masa ketika mereka masih langsing, cantik/tampan, populer, single, dan banyak duit. Mereka seolah terlihat down menghadapi masa sekarang, mungkin karena merasa tidak “sesukses” yang diharapkan orangtua/masyarakat. Akhirnya yang mereka lakukan adalah fokus ke masa lalu, masa ketika saya dan mereka tidak pernah klik. Mereka melompat-lompat dari satu topik kenangan ke topik kenangan basi lain, berusaha keras menghindari sensitivitas kekecewaan masa lalu (tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi, kuliah tidak selesai, sulit mendapat pekerjaan tanpa bantuan ortu, perceraian, sakit, sulit mendapat anak ….) dan berusaha fokus pada kegembiraan masa SMA yang seringkali tidak melibatkan saya (karena saya tidak pernah masuk inner circle mereka) – and this eventually sucks. Mereka berbagi foto-foto masa SMA yang juga saya miliki, tapi ketika di arsip foto saya ada mereka, di arsip mereka saya tidak pernah ada.

Ketika saya mengatakan bahwa saya datang ke reuni SMA dengan perasaan “aman”, yang saya maksudkan adalah bahwa saya telah menerima diri saya seutuhnya. Dan sebenarnya saya peduli akan eksistensi mereka sekarang, bukan apa yang seharusnya mereka perlihatkan. It was sad, really sad – untuk melihat mereka lebih peduli akan masa lalu ketimbang menegakkan kepala untuk menjelang hari esok.

Salah satu dari mereka pernah keceplosan dan berkata kepada saya, “Kenapa sih kamu selalu lucky?? Kamu selalu dapet apa yang kamu mau!” – saya kaget ketika dia berkata demikian, padahal dia tidak tidak pernah benar-benar tahu how far I went. Hanya saya yang tahu seberapa jauh saya telah melangkah hingga sampai ke titik “enak” ini – keluarga yang bahagia, anak-anak yang pintar dan hebat, pekerjaan bagus dengan hasil yang besar … perjuangan itu tidak main-main. Tapi, sebagaimana layaknya manusia cetek yang hanya bisa menilai dari kulit luar dan tidak berani bercermin untuk menghadapi diri sendiri, begitulah penilaian dia (dan mungkin mereka) terhadap saya: Beruntung, sombong, hidupnya enak dan enteng.

Pada hakekatnya semua orang bisa sukses – ini hanya masalah persepsi atas pencapaian diri sendiri. Jika kita bangga atas kerja keras kita, maka sesungguhnya kita adalah orang yang sukses, dan tidak ada satu pun manusia di dunia yang bisa merampas itu dari kita. Tidak ada yang namanya always lucky … somewhere between that, there’s hard work and God’s blessing. Itu saja.

Akhirnya diam-diam saya “kabur” dari grup WhatsApp teman-teman SMA saya. 

It was fun while it lasted guys … but I need something more in life. And you guys ain’t it.

 

PS: Mungkin jika ada yang benar-benar bertanya tentang hidup saya, saya akan menerangkan dengan senang hati – saya tidak pernah ingin menyembunyikan apa pun dari siapa pun. Saya tidak pernah mempermasalahkan masa lalu orang lain, saya cuma peduli akan sikap mereka kepada saya. But oh well … itulah manusia, and I am glad I got real friends now.

~Bandung, 14 Maret 2020

I am what I am, and it’s enough.

Leave a comment