Dicari: Motivasi Berolahraga

Motivasi adalah satu hal yang membuat segalanya berputar: kerja termotivasi oleh kebutuhan hidup (uang), keinginan untuk memperoleh pengakuan (prestasi), atau keinginan untuk mencapai suatu target tertentu (kedudukan, jumlah tabungan, dan sebagainya). Saya bisa menuliskan banyak motivasi bagi seseorang untuk mulai bekerja (apa saja), dan uang adalah motivasi sangat sederhana karena setiap orang pastinya butuh uang.

Bagaimana dengan olahraga?

Olahraga biasanya identik dengan kewajiban/keharusan, rasa nyeri otot, kelelahan, keringat, dan buang waktu. Ditambah dengan pemikiran bahwa obat/suplemen/diet ketat/makan rebus-rebusan bisa mengatasi segalanya, orang menjadi makin malas bergerak. Oleh karena itu menemukan motivasi untuk berolahraga dianggap sebagai suatu hal yang sulit. Hampir tidak ada teman yang saya temui yang menghubungkan penyakit yang dideritanya dengan kemalasan berolahraga/bergerak, bahkan ketika dia memiliki semua faktor risiko yang identik dengan sedentary lifestyle. Ditambah lagi, ada suatu “paham” yang beredar bahwa olahraga “gak akan ngefek” kalau tidak berkeringat habis-habisan (lebih dari setengah jam).

(Entah mengapa, keringat juga selalu diidentikkan dengan pembakaran lemak padahal ini adalah paham yang kurang tepat.)

Saya berolahraga (lagi) sejak saya berhenti merokok. Sebenarnya awalnya sederhana: saya berhenti merokok – saya punya banyak waktu luang (waktu itu) – dan saya suka berolahraga. Saya menganggap bahwa olahraga adalah rekreasi, sesuatu yang saya lakukan untuk “bertualang” dan menjauh dari rutinitas sehari-hari. Dulu saya berhenti berolahraga karena saya sadar benar bahwa rokok dan olahraga akan sulit berdampingan, karena tarikan napas saya memang pendek karena rokok.

(Saya pernah mencoba renang 100 meter ketika masih merokok dan saya hampir tenggelam. Seriusan.)

Setelah beberapa lama menjalani rutinitas ini, saya sadar bahwa selama ini saya telah melakukan abuse terhadap badan sendiri. Perasaan saya sekarang sangatlah berbeda dibandingkan ketika saya belum berolahraga. Yang pertama adalah bahwa saya berhenti menjadi orang yang baper. Saya tidak frustrasi lagi menghadapi pekerjaan yang menggunung, tidak triggered lagi melihat postingan sampah manusia sampah di media sosial. Kemudian, sakit badan yang biasanya menjadi hal normal bagi saya setelah duduk seharian menghadapi deadline sekarang telah menjadi hal yang asing. Saya mulai berani keluar rumah di malam hari yang dingin tanpa jaket karena saya tidak pernah “masuk angin” lagi. Teman-teman seumur saya banyak membicarakan soal “umur yang tidak muda lagi” karena mereka mulai menghadapi entah kantuk, lemas, atau pusing-pusing yang tidak jelas asal muasalnya … saya tidak pernah merasakan semua itu lagi dalam 2 tahun terakhir.

Jika tidak terdesak kebutuhan, biasanya orang tidak akan memulai apa pun, karena kebiasaan manusia adalah menjadikan kebutuhan sebagai motivasi untuk memulai sesuatu. Saya memandang olahraga sama seperti mandi dan makan: hal rutin yang harus dilakukan setiap hari. Kita tidak butuh motivasi untuk mandi dan makan, atau untuk menggosok gigi. Semua itu sudah kita lakukan secara sadar, berulang kali, untuk tujuan yang sama: agar tetap sehat. Mengapa motivasi olahraga harus dicari, jika motivasi untuk makan dan minum tidak perlu dicari? Tujuannya kan sama, supaya tetap sehat?

Saya mengatakan poin di atas ini kepada setiap orang yang mengeluh bahwa mereka sulit menemukan motivasi untuk memulai olahraga. Padahal yang perlu mereka lakukan hanyalah memulai setidaknya 10 menit setiap hari. Memang, tujuan yang lebih “besar” harus dibuat pada waktunya nanti karena sebenarnya melakukan sesuatu tanpa tujuan adalah sama dengan membuang-buang waktu. Namun, sebenarnya tidak perlu ada motivasi untuk memulai.

You just need to do it, get up and do it.
Then repeat. Every – single – day.
For the rest of your life.

Saya sendiri punya tujuan dalam olahraga, tapi tujuan ini melulu untuk mengalahkan diri saya sendiri. Saya mengamati bahwa mereka yang bosan berolahraga (“hilang motivasi”) biasanya adalah mereka yang tidak aktif mencari benchmark untuk dirinya sendiri setelah olahraganya menjadi rutin (setelah dijalankan sekitar 1-2 tahun), entah karena menginginkan hasil yang terlalu cepat, cenderung meremehkan dirinya (“saya bukan atlet, saya tidak kuat angkat beban besar, saya sudah tidak muda lagi, saya penyakitan“), atau karena pada dasarnya mereka tidak tahu bahwa di luar sana ada orang-orang yang bisa mencapai hasil dalam olahraga walaupun dengan keterbatasan kesehatan.

Dulu, almarhumah ibu saya mengajari bahwa olahraga adalah tentang mengalahkan diri sendiri – selalu ada dua “versi” diri ketika kita berolahraga, versi #1 adalah kita yang pemalas, gampang menyerah, tidak ingin menyakiti diri sendiri, kita yang menganggap bahwa diri ini sudah sehat dan tidak perlu berubah. Sedangkan versi #2 adalah kita yang ingin mencapai sesuatu, pushing the boundaries, push to the limit, kita yang percaya bahwa kita bisa. Setiap kali kita berhasil mengalahkan versi #1, ada rasa bangga yang meluap dalam diri dan rasa penghargaan atas diri sendiri inilah yang membuat semangat untuk menyehatkan diri menjadi makin tinggi. Dari mulai jalan kaki hanya 10 menit, kemudian 15 menit, kemudian 20 menit … semua yang dimulai bertahap, terkendali, dan konsisten dengan niat untuk mengalahkan versi #1 adalah langkah menuju kesehatan yang lebih baik.

Sports is about a battle with your other self, sports is about loving the gift of life from God.

Olahraga bukan tentang siapa yang lari paling cepat, renang paling cepat, atau mengangkat beban paling berat. Olahraga bukan tentang keringat, dan bukan tentang menurunkan berat badan. Olahraga adalah perjuangan untuk mencapai the best version of oneself, every time.

Saya tidak bilang bahwa semua ini mudah, tapi semua ini sederhana.

Mengapa saya membahas semua ini dalam blog penerjemahan saya? Karena sesungguhnya menjadi penerjemah adalah profesi yang berbahaya jika tidak dibarengi dengan olahraga.

Sudah empat teman saya yang terkena serangan jantung. Tiga di antara mereka adalah penerjemah.

Please, don’t let yourself be the next victim.

Sesungguhnya hidup mati adalah urusan Tuhan, namun apakah kita akan mati konyol (akibat penyakit yang bisa dicegah) atau tidak, itu adalah sepenuhnya  keputusan kita.

 

~ Bandung, 12 Januari 2020

Leave a comment