Menyampaikan Ketidaksetujuan – Part 3 of 3

Bagian ketiga ini agak rumit. Mungkin yang membaca akan berpikir, “memangnya ada cara lain untuk menyampaikan ketidaksetujuan, selain berkata ‘Saya tidak/kurang setuju’?”

Pernahkah kalian menyampaikan ketidaksetujuan dengan cara yang keras? Saya pernah. Suffice to say bahwa alih-alih bisa membuat lawan bicara berpikir tentang mengapa saya tidak setuju, mereka malah memilih untuk lash back alias mengeluarkan counter argument. Butuh waktu lama bagi saya untuk mengubah cara pendekatan ini, karena sejujurnya berargumen itu lama-lama melelahkan. Dan dulu saya tidak pernah berpikir, “Mengapa dia berkata begitu? Apa benar saya salah? Atau dia yang salah?”

Saya sudah mengalami dua posisi: sebagai editor yang dilabrak penerjemah, dan sebagai penerjemah yang dilabrak editor. Dulu, kalau saya kena labrak, saya pasti akan mengeluarkan bazoka dan mengatakan, “OK, kamu mau adu pengetahuan nih?!?” – dan kemudian mulai mencari-cari referensi untuk menggaplok si lawan bicara. Dan kemudian saya pun bisa pucat pasi karena terbawa emosi, dan menyadari bahwa counter argument mereka yang benar, saya yang salah. Akhirnya apa yang terjadi? Karena mengedepankan ego, saya sempat menjadi takut salah dan memilih untuk diam. Ini sikap profesional yang salah – kita berkewajiban meluruskan tanpa perlu gontok-gontokan, bukan mengeluarkan bazoka dan merasa maha benar sehingga kita bisa “menggilas” mereka, dan bukan juga untuk terdiam di sudut karena takut akan rasa malu!

Saya “belajar” untuk arbitrase (istilah agensi untuk beradu pendapat soal mana yang benar dan salah, di lembar Linguistic Quality Assurance (LQA)) dari seorang editor nun jauh di sana, yang selalu memberikan argumen logis tentang semua kesalahan yang saya buat dalam penerjemahan. Dari dia saya belajar, bahwa memberi tautan ke KBBI itu terkadang tidak perlu (kecuali untuk menjelaskan salah ketik). Terkadang kita tidak perlu memberi referensi berjubel tentang alasan kita untuk memilih kata-kata itu dan bukan yang lain. Dan oleh karena itu, saya pun berhenti “adu pengetahuan” dengan editor – saya tidak lagi merasa bahwa saya maha benar, hanya karena saya punya tautan ke KBBI atau ke EYD 5. Untuk apa? Dan saya juga tidak perlu menjelaskan bahwa saya lebih tahu karena saya sudah berpengalaman sekian tahun dalam menerjemahkan dokumen terkait. Untuk apa?

Adu pengalaman dan adu jam terbang itu sangat tidak relevan, membosankan, dan menyebalkan. Walaupun kita punya pengalaman berjubel dalam menerjemahkan dokumen medis/legal/apa pun, bukan berarti kita tidak bisa salah.

Sekarang, yang saya lakukan adalah menjelaskan alasan logis. “I disagree, (dan melanjutkan dengan poin yang tidak bertele-tele dan tepat sasaran).” And you know what? Afterwards, I let it go. Tidak penting apakah editor/penerjemah setuju dengan saya. Saya memberi counter argument just for the sake of it. Pada akhirnya, agensi yang akan memutuskan, terjemahan siapa yang akan dipakai, terjemahan saya atau terjemahan si lawan bicara. Sejak menjadi editor saya juga sering mengelus dada, karena counter argument penerjemah yang sering tidak pada tempatnya-atau downright weird. Salah satu counter argument aneh yang saya temukan adalah, “This translation is fine”. Saya garuk-garuk kepala kalau menghadapi argumen yang seperti ini. Excuse me? Which part of it is FINE? Rasanya hati ini ingin menjerit. Banyak juga yang bertindak (dan berkata-kata) dengan hostile, seolah we (editors) are out to take their jobs. Yaaa… mungkin pada awal tahun 2010-an itu yang terjadi, tapi obviously not today. Editor tidak memiliki kapasitas untuk mengambil pekerjaan penerjemah dan biasanya editor yang disewa adalah yang lebih senior dengan bayaran lebih tinggi, dari agensi yang lain. Fee kami juga dihitung per jam dan bukan per kata. Jadi, enyahkan pikiran bahwa “This editor is out to take my job”. No we don’t. Dan secara pribadi, saya juga emoh mengerjakan terjemahan Anda dari awal!

Sepanjang perjalanan ini, saya menemukan banyak sekali jenis manusia. Dan saya belajar untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan cara yang cepat dan tidak bertele-tele.
I am sorry, but I don’t think this is the case with the document.
Thank you for your feedback, however I disagree because the context of this document is different than what you are implying.
Thank you very much for you corrections, however if I may suggest, we can achieve good quality together if we use word A instead of word B (which was actually a complex word).

Saya tidak pernah lupa untuk mengucapkan “maaf” dan “terima kasih”. Kembali, saya juga berusaha untuk tidak sungkan menyatakan ketidaksetujuan, terutama kalau itu masalah prinsip. Contoh pet peeve saya adalah penggunaan “di mana” untuk menerjemahkan “where”, “whereas”, dan “when”, yang tidak menunjukkan lokasi/tempat. Yang pernah diedit oleh saya pasti tahu betapa sebalnya saya terhadap frasa ini! Tapi walaupun demikian, saya tidak semerta-merta membentak penerjemah dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu tata bahasa.

Target saya ketika menyatakan ketidaksetujuan adalah hanya satu: bahwa mereka dapat membaca masukan saya dengan kepala dingin, dan kemudian berpikir dengan kepala dingin, untuk kemudian menerapkan/menolak secara logis. Syukur kalau setuju. Kalau tidak, ya sudah.

Saya pernah melihat kejadian yang memalukan, ketika penerjemah dan editor saling bentak di lembar LQA. Posisi saya waktu itu hanya sebagai editor lain yang kebetulan saya melihat acara saling bentak ini karena notifikasi emailnya masuk ke inbox saya (yang khusus untuk pekerjaan itu). Saling bentak ini berlangsung sampai dua hari – yes, I kid you not, DUA HARI! Editor mengoreksi, penerjemah tidak setuju dan kemudian mengata-ngatai editor. Padahal koreksi editor ini soal ToV (Tone of Voice = cara klien mengomunikasikan produk mereka kepada pengguna). Si penerjemah ngotot bahwa terjemahan dia sudah benar secara tata bahasa, si editor ngotot bahwa ToV dia salah. Akhirnya ada PM yang menengahi dan arbitrase (bentak-bentakan) berakhir dengan penerjemah yang TENTU SAJA tidak setuju atas masukan editor, dan editor yang lelah karena dia tidak dibayar untuk melayani si penerjemah. Semua ini tidak perlu terjadi andaikan si editor lebih tegas dan penerjemah mau menerima inputnya. Tapi yang terjadi adalah saling mengedepankan ego, tidak mau terima bahwa dirinya yang lulusan sastra bisa dikoreksi, dan tidak mau terima bahwa lawan bicaranya tidak mau terima. Oleh karena itu, berbekal pengalaman (memalukan) ini, ketika saya mencium potensi bahwa arbitrase akan bertele-tele, saya selalu berkata, “My decision is final” dengan segala risikonya.

Saya sering mendengar bahwa ada aja penerjemah yang menyimpan dendam terhadap editor. Perlu digaris bawahi bahwa jumlah editan tidak menentukan kualitas penerjemah, karena editor juga punya selingkung sendiri. Jika Anda memang tidak setuju dengan gaya selingkung editor, utarakanlah dengan tegas dan sopan, dan jangan mutung kalau klien memilih selingkung editor dibandingkan dengan selingkung Anda. Itu bukan berarti pekerjaan Anda jelek lho, pahamilah ini.

Entahlah, banyak sekali yang bawa-bawa personal issue ke dalam ranah pekerjaan (hanya karena dia bekerja dari rumah), dan kemudian bersiap sedia melawan editor dan reviewer seolah mereka bisa dapat street cred karena membentak-bentak dan berkata-kata kasar, sembari menjejalkan referensi berjubel yang tidak relevan. Menunjukkan bahwa kita benar dengan cara seperti itu tidak menunjukkan karakter yang baik. Alih-alih, kita ini menunjukkan bahwa kita ini manusia dengan ego sebesar gunung, pengalaman segudang tapi tidak bisa bersikap humble, dan kemungkinan besar gegabah serta tidak tahu diri!

Try it out. Cobalah membahasakan ketidaksetujuan kita dengan cara yang lebih halus, tegas, dan sopan. Karier di penerjemahan adalah karier yang berpotensi untuk jangka panjang, dan kita tidak mau meninggalkan jejak sebagai orang keras kepala menyebalkan yang tidak bisa diajak berdiskusi baik-baik.

~ Bandung, 27 Juni 2024
… menamatkan rangkaian tulisan yang lebih mirip
ranting, dan bersiap menyambut sabbatical
dan wow, ini tulisan ke-51!

Leave a comment