Tentang Perang Harga (Isu Sensitif Penuh Makian)

Dalam pos blog saya sebelumnya, saya menuliskan bahwa penawaran tarif terjemahan tiga sampai lima poin di bawah tarif saya adalah sesuatu yang harus saya hadapi sebagai bagian dari persaingan. Needless to say bahwa persaingan harga adalah topik sensitif, dan pembahasannya seringkali dihindari karena ini akan mengarah ke satu atau beberapa individu atau entitas yang hobi memainkan perang harga tanpa memikirkan kualitas. Mari kita jauhi topik ghibah terkait individu karena memang tidak ada manfaatnya – seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap orang punya pilihan masing-masing. Mengutak-ngatik pilihan itu adalah tindakan untuk membuang waktu percuma dan tidak berfaedah bagi siapa pun.

Yang akan saya bahas di sini adalah perbedaan antara yang namanya persaingan sehat dan tidak sehat. Persaingan sehat adalah ketika saya menawarkan tarif Rp. 170.000,00 per halaman, dan Anda menawarkan tarif 150.000,00 per halaman dengan layanan tambahan. Ini namanya persaingan sehat. Harga kita tidak jauh berbeda, Anda menawarkan layanan tambahan dan saya akan terpaksa mengajukan nilai kompetitif (yang mungkin melibatkan tindakan memutar otak dan kecerdasan), untuk menerangkan kepada klien mengapa dia harus membayar lebih tinggi untuk layanan saya. Tindakan Anda memberi dampak positif kepada saya karena saya akan berusaha memperbaiki layanan, harga, dan nilai kompetitif yang tadinya mungkin tidak terpikirkan. Layanan dan tarif saya menerima “tantangan” dari sisi Anda sehingga saya “terpaksa” belajar untuk meningkatkan kualitas.

Persaingan tidak sehat adalah ketika saya menawarkan tarif Rp. 170.000,00 satu halaman dan Anda menawarkan Rp.50.000,00 satu halaman, dalam konteks ketika kemampuan Anda sama seperti saya, jam terbang kita hampir sama, kompetensi kita kurang lebih sama. Anda menawarkan harga JAUH LEBIH RENDAH tanpa alasan – hanya karena Anda bersedia dibayar murah dan saya tidak, ini namanya tidak sehat. Kenapa? Karena inilah yang namanya perang harga, ketika tiada hal lain yang bisa dijadikan faktor kompetisi kecuali HARGA.

(Saya tidak akan menyinggung kualitas terjemahan tarif rendah karena ini sudah disinggung di pos sebelumnya, yang berkaitan erat dengan kejar setoran yang pernah saya alami.)

Mohon perhatikan bahwa bila jam terbang Anda di bawah saya, sah-sah saja kalau Anda mengajukan tarif yang jauh lebih rendah. Ini kembali ke persaingan sehat – Anda menawarkan apa yang Anda punya, saya juga. Apabila jam terbang saya jauh di bawah Anda, saya pun akan sungkan menawarkan tarif yang sama dengan Anda, karena Anda punya nilai kompetitif yang tidak saya miliki. Tapi ini memberi peluang bagi saya dan Anda untuk terus meningkatkan nilai diri dan layanan, karena saya pun ingin dong dibayar sebesar Anda. Mekanisme persaingan ini terus bergulir memberi dampak positif, dan akan sampai pada suatu titik ketika Anda diuntungkan dengan penawaran saya, dan saya juga diuntungkan oleh penawaran Anda. Tidak ada yang rugi – karena kita bekerja dalam level yang sama, dan ketika Anda yang memenangkan proyek dan bukan saya, kejadian ini akan lebih membuat legowo. Dan pasar pun akan bergulir dalam persaingan ini, sampai akhirnya keseluruhan tarif bisa terangkat dan pasar akan menganggap bahwa penawaran Anda dan saya sama logisnya, sehingga apa pun yang berada di bawah itu pasti abal-abal.

Eh, sebentar. Apakah mekanisme pasar memang sesederhana itu? Tentu saja tidak. Kalau memang benar sehitam putih ini, penerjemah tarif rendah gak akan mungkin dong bisa sukses dan meraup uang banyak? Tapi pada kenyataannya mereka yang bersaing dengan cara tidak sehat meraih keuntungan dari agensi-agensi abusive yang bertarif rendah, sedangkan penerjemah bertarif tinggi mengeluh karena pekerjaan mereka “dicaplok” oleh pemain tarif rendah. Konon, harga murah dengan kualitas pas-pasan memberi manfaat yang kurang lebih sama dengan kualitas yang baik tapi mahal. Tentu saja secara alamiah klien akan memilih yang pertama, karena mereka punya apa yang namanya pagu anggaran, dan mekanisme dalam agensi terkadang demikian rumit dan melibatkan demikian banyak orang, sehingga pagu anggaran ini demikian tipis setelah dibagi-bagi dan didistribusikan ke sekian banyak sistem. Kalau Anda ingin tahu mengapa penerjemah bertarif rendah dengan kualitas pas-pasan memperoleh banyak pekerjaan sedangkan Anda yang bertarif tinggi tidak, itulah jawabannya. Bukan kualitas. Tapi semata-mata karena pagu anggaran. Kemudian kita akan bertanya: trus kualitas dikemanakan? Well – klien yang berfokus pada pagu anggaran dan uang tidak terlalu peduli soal kualitas. Pikiran mereka bersifat linier – tarif murah + kualitas pas-pasan + beban ditumpukan ke editor = memenuhi anggaran.

Jika kita ikut-ikutan berpikir linier dan menganggap bahwa harga adalah satu-satunya faktor yang bisa memenangkan kompetisi, urusan ini bisa jadi runyam. Selain dampak yang jelas terhadap tarif sendiri yang tak kunjung naik karena selalu lihat kiri kanan atas bawah depan belakang, muncul sikap nyinyir dan saling curiga terhadap satu sama lain, dan si penerjemah bertarif rendah yang kebetulan sedang mendaki tangga karier (BUKAN PESAING TIDAK SEHAT) akan menerima getah kenyinyiran ini. Akhirnya yang terjadi adalah profesi kacau balau yang penuh rahasia – pesaing tidak sehat bersembunyi di antara rimba newbie dan terus memainkan perang harga yang makin menggila rendahnya, sedangkan newbie yang sebenarnya berakhir dengan terjepit di antara dua tarif (rendah dan tinggi) dengan CV yang masih kosong. Sementara penerjemah bertarif tinggi menaruh kecurigaan dalam-dalam kepada semua orang yang “tampaknya” memiliki tarif lebih rendah dari dirinya, dan berujung menyalahkan semua orang bertarif rendah secara membabi buta.

Tapi sekarang mari kita coba berpikir tidak linier dan menilai, siapa saja klien yang mau membeli nilai kompetitif kita (kompetensi, sertifikasi, pengalaman, integritas, reputasi, dll)? Inilah klien-klien yang patut diperjuangkan dan merekalah yang akan memberi manfaat dan nilai yang lebih dari sekadar uang yang dibayarkan. Klien yang tidak berniat membeli nilai kompetitif akan selalu mencari korban di tengah perang harga – yaitu penerjemah yang mau dibayar semurah mungkin untuk mengerjakan proyek secepat mungkin. Untuk apa memaksakan diri menerima pekerjaan dari klien yang samasekali tidak berniat untuk membayar harga sertifikasi Anda yang diperoleh lewat air mata dan pengorbanan? Untuk apa bekerja bagi klien yang hanya peduli pada output terjemahan sejumlah empat ribu kata per hari dan tidak peduli terhadap reputasi Anda yang akan memburuk akibat hasil yang buruk? Akan ada suatu saat ketika mereka menggunakan kalimat “Teman Anda si A mau dibayar 2 sen dolar per kata, jadi saya harap Anda mau bersikap kompetitif dalam hal ini” (padahal tarif Anda yang sebenarnya adalah 6 sen dolar per kata). Selain memberi jawaban “I would rather starve” atau “you’re an asshole” dan sejumlah makian jenis lain (yang mungkin bisa dikemas dalam bentuk yang lebih sopan), Anda juga harus mempertimbangkan bahwa klien ini mungkin mencoba menjebak Anda dalam perang harga – yang tidak akan ada habisnya dan tidak akan ada manfaatnya – hanya demi pagu anggaran yang sebenarnya bukan urusan Anda juga. Walaupun Anda memerosotkan tarif hingga 1 sen dolar per kata, perang ini tidak akan pernah dimenangkan oleh Anda. Akan ada tarif yang lebih rendah lagi dan lagi, karena itu melangkahlah keluar dari perang harga itu dengan anggun dan berhentilah menyalahkan si A karena memasang tarif 2 sen dolar per kata, karena mungkin saja si A itu sebenarnya adalah newbie yang sedang berusaha merangkak naik (sehingga jelas ini adalah persaingan yang gak level), atau sesungguhnya si A sedang berdarah-darah karena mencoba memenangkan proyek yang hanya akan membuat reputasinya memburuk.

Saat semua penerjemah yang bersaing dengan cara tidak sehat terus memerosotkan tarif, penerjemah tarif tinggi dengan kompetensi dan passion serius akan makin cemerlang dan menonjol di antara mereka, asalkan integritas, reputasi, kompetensi, dan keunggulan kompetitif tetap dijaga serta ditingkatkan. Saya melihat banyak newbie yang sudah melangkah keluar dari perang harga dan menetapkan keunggulan kompetitifnya – dia yang dulunya mau-mau aja mengerjakan terjemahan tarif rendah, setelah ikut pelatihan dan Kompak HPI beberapa kali mulai “malas” mengerjakan tarif rendah dan mulai menetapkan tarif minimal yang memadai untuk kompetensinya. Ini sangat bagus dan saya salut karena mereka bekerja keras dan tidak mengedepankan harga sebagai satu-satunya manfaat yang bisa diperoleh klien. Mereka keluar dari perang harga dan mulai bersinar sebagai dirinya sendiri – dan saya harap akan makin banyak yang bersaing secara sehat dan mengedepankan keunggulan kompetitif yang kreatif alih-alih pasang harga “kacangan” untuk menendang kompetitor.

Suatu saat, klien akan menyadari bahwa pagu anggaran mereka telah mencapai batas untuk membayar tarif penerjemah rendah + editor kawakan = edit dan revisi berkali-kali, padahal sebenarnya mereka bisa menyewa penerjemah kawakan tanpa editor = edit dan revisi hanya maksimal dua kali atau bahkan tidak ada revisi.

Sungguh tidak masuk akal untuk mengharapkan layanan yang baik dengan harga (se)murah (mungkin), dan suatu saat klien akan menyadari hal ini. Namun kesadaran ini harus dimulai dari penyedia layanan terjemahan – yaitu penerjemah.

~Bandung, 10 Januari 2015

8 Comments

  1. Jleb pas tepat sasaran (redundan yak bahasanya? Hehe)
    Tp saya setuju sekali dgn yg ditulis. Dan jujur itu terjadi di setiap bidang usaha sepertinya. Pada akhirnya yg menjatuhkan harga pasaran adalah pelaku-pelaku usaha itu sendiri yg memasang harga rendah 😦

    Well said, ceu :*

    1. Ya sebenernya ada andil juga dari klien ceu – itu kan gak dari satu sisi, jadinya vicious circle karena klien memanfaatkan orang-orang yang mau dibayar rendah untuk menekan harga orang-orang yang sebenarnya pantas dibayar tinggi. Eh, tapi ini analisis pribadiku yang umum untuk industri jasa ya. Dalam industri komoditas agak beda mainannya, karena gimana pun juga ada parameter yaitu komoditas. Penerjemahan itu masuk industri jasa, sama seperti dokter dan pengacara.

  2. At least kalau pelaku usaha ga banting2an harga, klien juga ga bs neken, lah wong harga pasarnya emang sgitu kan..
    Jd inget yg soal grosir versus ga grosir waktu itu tea..
    Atau kasus yg individu tertentu tanya harga ke org lain lalu sengaja jual di bawahnya… >.<

  3. Ngaku ah.
    Tahun 2010 aku bersedia dibayar Rp80.000 untuk menerjemahkan subtitel film berdurasi 30 menit. Itung-itung belajar menerjemahkan subtitel berbayar. Setelah menguasainya, tentu saja aku tidak mau dibayar sekian, malahan baru-baru ini klienku bersedia membayar harga sekian dolar per menit yang kuajukan untuk menerjemahkan subtitel film. Kualitas itu punya label harga yang jelas.

    1. Yups – dan yang penting juga ketika kita menyadari keunggulan kompetitif, kita selayaknya melangkah keluar dari tarif itu untuk memilih patokan yang “lebih sreg” bagi nilai diri kita. Ngaku juga: tarif pertamaku kan Rp.7500,00 per halaman hahahahahaha

      1. Tapi enggak bisa dibalik, kan ya…
        Ga bisa matok harga tinggi karena ingin dianggap top markotop padahal baru terjun ke dalam usaha. Harus ada proses.

  4. Salam kenal, Bu 🙂

    Saya sendiri penerjemah pemula. Sebelum memulai, saya sempat baca-baca blog rekan penerjemah lain dan dari situ saya paham nggak seharusnya kita pasang harga murah karena kita musti menghargai kemampuan kita.

    Hal yang paling menyadarkan saya itu ya pada waktu memulai karir penerjemahan itu sendiri. Saat itu saya mencoba melamar lowongan penerjemah di sebuah rental. Tapi bayarannya terlalu rendah (jam kerja nyaris sepanjang purna waktu dengan gaji di bawah UMR). Belum lagi ternyata rental tersebut menawarkan jasa pengerjaan skripsi, dan saya melihat bahwa pekerjaan rekan-rekan saya kurang bagus alias masih beraroma Google Translate. Saat situ saya baru benar-benar mengerti maksud dari “memberi harga yang pantas”.

    Seperti kata Ibu, kalau kliennya memang cari harga meskipun kualitas abal-abal, ya sudah. Buat apa susah-susah memastikan kualitas ketika upaya tersebut tidak dihargai.

    1. Hehehehe, iya benar. Maaf aku lama banget baru balas, lama banget gak nengok blog nih.
      Ya, yang penting kita fokus sama tujuan. Kalau memang tujuannya untuk bekerja dengan baik, lama kelamaan akan terasa bahwa harga itu “kurang pantas” atau bahkan “sadis, hehehehe

Leave a comment